Beranda Nasional KPID: Masih Ada Radio Intoleran

KPID: Masih Ada Radio Intoleran

14

BANDUNG (Pelitaindo.news) – Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Barat, mendapati fakta masih adanya radio yang menjadi sarana dakwah namun sikapnya justru diskriminatif dan intoleran. Kenyataan ini harus menjadi perhatian bersama, sesuai dengan program moderasi beragama yang terus didengungkan. Masalah tersebut mengemuka saat pertemuan KPID Jabar dengan Kanwil Kementerian Agama Jabar, Jumat (12/08/2022) di Kanwil Kemenag Jabar Jln. Sudirman Bandung.

Rombongan diterima Kakanwil Kemenag Jabar H. Ajam Mustajam, Plt. Kabag TU Ahmad Patoni, Plt. Kabid Pendidikan Madrasah Ahmad Tedi Junaedi, dan Plt. Kabid Penais Asep Ismail. Hadir para Komisioner KPID Jabar terdiri dari Achmad Abdul Basith, Roni Tabroni, Syaefurrohman Achmad, Ellang Gantoni Malik dan Jalu P. Priambodo.

Menurut Achmad Abdul Basith, hal yang diskriminatif dan intoleran itu misalnya melarang narasumber wanita bicara di radio, dengan alasan suara wanita adalah aurat. Padahal radio merupakan media untuk menyampaikan informasi, yang diatur dalam regulasi penyiaran.

“Kami berharap radio tidak melanggar aturan sesuai perundang-undangan. Karena itu kami datang ke sini untuk  menjalin kerjasama mengenai hal yang berkaitan dengan penyiaran dan agama,” katanya.

Selain itu juga diharapkan terbangun kerja sama dalam hal moderasi beragama. Dalam kaitan itu, KPID menginginkan tahun ini ada realisasi mengenai dakwah dalam penyiaran. Sementara itu, beberapa radio membutuhkan teknologi canggih, tapi tdk ada anggaran. Padahal mereka berpotensi karena dekat dengan pesantren.

“Sejauh ini belum ada program dakwah di radio-radio yang digagas pemerintah. Maka Jabar bisa menjadi pencetus pertama untuk program seperti itu. Ini penting, supaya Kemenag juga tidak sendirian dalam melawan radikalisme,” tuturnya.

Lagu kebangsaan

Menanggapi hal itu, Ajam Mustajam akan menindaklanjuti tentang langkah moderasi beragama bagi penyiar. Diakuinya, memang masih ada sekelompok orang yang membuat batasan tertentu bagi yang tidak sepaham dengan pola pikir mereka.

Ajam berharap, nanti ada aturan yang dibuat untuk lebih menanamkan rasa cinta tanah air. Misalnya, semua yang terkait dengan penyiaran maka acara diawali dan diakhiri dengan lagu kebangsaan Indonesia Raya atau diakhiri lagu wajib nasional lainnya.

“Kami mohon bantuan dan dukungan, untuk mensosialisasikan program kehidupan beragama di Jabar melalui moderasi beragama. Kami sudah berkoordinasi dan bekerja sama dengan TNI dan Polri,” ujar Ajam Mustajam.

Menyinggung tentang pelatihan moderasi berahama, ada tiga tahapan. Pertama, tahap pengenalan yang dilakukan satu hari. Kedua, pelopor moderasi. Ketiga, training of trainers (ToT), yakni pelatihan bagi calon instruktur. Khusus untuk penyiar ada dua tahapan, bisa di tahapan pelopor 4 hari Dan TOT 7 hari.

Senada dengan itu, Ahmad Patoni menjelaskan, moderasi Beragama sudah masuk dalam agenda pemerintah. Di lingkungan Kemenag sendiri, sudah 90 persen mengikuti diklat moderasi beragama.

Sekarang Ditjen Bimas Islam sedang menggodok moderasi berbasis masjid. Karena masjid sekarang banyak yang dijadikan tempat untuk membakar emosi masyarakat. Kehadiran ustadz atau khatib terkesan yang penting ramai.

Saat ini sudah berjalan program sertifikasi untuk para dai di lingkungan Kementerian Agama. Tahun lalu Penais sudah mendidik hampir 300 orang yang disebar di masjid-masjid. “Sekarang kita akan kerjasama dengan NU agar peran ormas juga masuk. Kita juga akan kerja sama dengan Bina Marga, kaitannya dengan penyebaran para ustadz di masjid reast area,” katanya. *(Kontributor : Eva Nurwidiawati)

Tinggalkan Balasan